Selasa, 22 September 2015

KOMODIFIKASI PERNIKAHAN ARTIS VIRUS MEDIA TELEVISI ERA MODERN


Perkembangan sebuah Media di Indonesia semakin maju dari tahun ke tahun, tidak hanya menyajikan satu aspek, tetapi telah menjalar kesemua aspek sesuai dengan kejadian-kejadian yang sedang terjadi pada saat ini. Tak terkecuali perubahan pada isi dari sebuah acara yang di berikan oleh media itu sendiri. Salah satunya Komodifikasi.
Komodifikasi kasus tayangan perhelatan pernikahan Raffi Ahmad dengan Nagita Slavina yang di siarkan oleh stasiun tv. Dengan membawa nama Raffi Ahmad yang sudah terkenal sebagai artis, stasiun tv ini menghadirkan sebuah produk “spesial” kepada masyarakat. Ternyata, cara ini ampuh untuk membuat produk tersebut menjadi bahan perbincangan di masyarakat.
Sosok seorang artis, tak lantas sebagai Presiden inilah yang saya lihat dari acara tersebut, dimana sebuah media televisi yang seharusnya memiliki nilai-nilai informasi yang penting berguna bagi masyarakat Indonesia. Tergantikan hanya dengan acara perhelatan pernikahan masyarakat biasa dengan menampilkan segala kemewahannya untuk diliput media televisi. Tanpa ada manfaatnya dalam segala hal.
Walaupun media itu sendiri yang menawarkan ataupun tidak untuk meliput acara perhelatan pernikahannya, disinilah pentingnya peran dan sikap kita dalam mengambil keputusan sebelum bertindak.
  Raffi adalah orang berpendidikan seharusnya lebih tahu, mana hal yang penting dan tidak penting. Tugas media seharusnya mementingkan lebih banyak untuk mewakili masyarakat bukan hanya mementingkan kepentingan satu pribadi.
Komodifikasi Media Televisi
Komodifikasi yang berasal dari salah satu ideologi Karl Marx yang mengatakan bahwa kata tersebut bisa di artikan sebagai upaya dalam peraihan keuntungan dengan mengorbankan aspek-aspek masyarakat.
Sebuah teori dari Baran dan Davis, yang mengungkapkan bahwa komoditas adalah peralihan nilai-nilai manusia yang bisa di tukarkan menjadi nilai tukar seperti Rupiah, Dollar, atau mata uang lainnya.
Perubahan tersebut dikarenakan desakan akan kebutuhan antar individu, menghilangkan konteks sebuah produk sosial menjadi produk bisnis. Membuat sebuah komodifikasi sebuah media menjalar ke semua idiologi pemilik media, menjadikannya sebuah budaya untuk menciptakan keuntungan.
Asumsi mengapa proses komodifikasi begitu mengakar pada media karena, media hanya dapat dimiliki oleh pemilik modal kuat untuk mendirikan sebuah media diperlukan biaya yang sangat besar. Sehingga jika kebutuhan modal terpenuhi maka pemulihan keuntungan akan dilakukan sebesar-besarnya, hal tersebut juga dikarenakan adanya persaingan media.
Tetapi jika dilihat dari nilai-nilai pada Media Televisi itu sendiri, ini semua sudah sangat melenceng jauh. Dari aspek ekonomi, media hanya mencari keuntungan yang sangat besar, tanpa melihat banyak aspek, misalnya dari aspek sosial yang sudah tidak ada produk yang inspiratif dan mendidik, bahkan dari aspek budaya yang sudah hilang moral dan privasi.
Pada akhirnya media komersial harus membuat keuntungan untuk dapat bertahan dan hal ini sering sekali adanya keterlibatan secara langsung dalam mempengaruhi konten media tersebut. Tanpa memikirkan apakah konten tersebut bermanfaat baik atau tidak bagi penonton masyarakat Indonesia.
Kapitalisme Media Era Modern
Lagi-lagi ini semua menjurus pada Kapitalisme yang sudah menguasai aspek sosial dunia dengan produk-produk yang berbasis bisnis. Para Kapitalisme (Pemilik Media) melihat kesempatan ini dengan cerdik, melihat bahwa penonton bukan hanya sekedar penonton, melainkan penonton merupakan “pekerja” dari sebuah media itu sendiri. Maksudnya, media menggiring penonton untuk secara tidak sengaja menonton produk yang diberikan, dengan topik yang sedang hangat dibicarakan tetapi sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang yang berbeda inilah, yang menjadi salah satu faktor Media memainkan perannya.
Peran ini yang akhirnya menentukan rating pada sebuah produk yang dihasilkan, dan seperti media-media kebanyakan, rating seolah-olah menjadi sebuah roh yang sangat di sanjung-sanjung tinggi, yaitu keuntungan. Tanpa melihat dari tugas utamanya sebagai Media sebenarnya.
Memang sangat memprihatinkan, semula media di ciptakan untuk mendidik masyarakat, sekarang dijadikan lahan untuk berdagang dan mencetak uang. Sehingga, harapan masyarakat akan produk-produk yang inspiratif, edukatif, dan budaya semakin hari semakin berkurang.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) pada mukadimahnya menyebutkan, pemanfaatan frekuensi radio sebagai ranah publik yang merupakan sumber daya alam terbatas dapat senantiasa ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat sebesar-besarnya.
Dalam Pasal 11 juga menyatakan bahwa lembaga penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik. Apalagi, dalam SPS Pasal 13 ayat 2 menyatakan bahwa program siaran tentang permasalahan kehidupan pribadi tidak boleh menjadi materi yang ditampilkan atau disajikan dalam seluruh isi mata acara, kecuali demi kepentingan publik.
Terlihat jelas bahwa peran media sangat penting untuk mewakili masyarakat banyak bukan mewakili segelintir pribadi orang, para kapitalisme media juga harus paham tentang program acara yang akan ditampilkan tidak boleh ikut campur dalam permasalahan kehidupan pribadi seseorang.
Kesimpulan
Pada era modern saat ini memang tidak dipungkiri jika kemajuan zaman juga berdampak pada kemajuan suatu teknologi media, hal inilah menurut saya tantangan kita dimana dengan segala kemajuan di era modern saat ini, bukannya kualitas teknologi media saja yang maju tetapi sumber daya manusia juga harus diimbangi. Jika salah satu itu tidak saling mendukung maka akan terjadilah kasus ataupun peristiwa seperti ini, teknologi media makin modern, ilmu pengetahuan semakin tinggi tetapi pelaksanaannya sangat buruk. Kasus perhelatan pernikahan Raffi Ahmad dengan Nagita Slavina yang ditayangkan tv ini adalah contoh sebuah pelanggaran tugas media tv serta kesalahan Raffi Ahmad yang seharusnya media tv hanya memberikan informasi yang penting dan bermanfaat bagi banyak orang tetapi malah meliput perhelatan pernikahan yang sebenarnya tidak bermanfaat  dan tidak penting bagi banyak orang, sebab Raffi Ahmad hanya artis seperti masyarakat bukan seorang Presiden Republik Indonesia yang memiliki peran penting dalam kemajuan Negara Indonesia. Hal itu juga tidak boleh dilakukan karena sudah dijelaskan KPI bahwa perhelatan pernikahan yang ditayangkan di tv telah menyangkut kepentingan pribadi Raffi sendiri, media tidak boleh ikut campur, walaupun seorang artis sekalipun. Seharusnya Raffi Ahmad juga lebih paham tentang peraturan tersebut. Ini semua mungkin bisa menjadi pembelajaran bagi kalangan artis ataupun masyarakat lainnya bahwa media tv adalah sarana media informasi yang bermanfaat bagi banyak orang, memberikan fakta-fakta yang aktual dan akurat bagi masyarakat Indonesia. Bagi para kapitalisme media itu sendiri untuk lebih paham dan mengerti juga bahwa program-program siaran yang akan mereka tampilkan juga harus bermanfaat bagi banyak orang bukan adanya keberpihakan segelintir artis yang tidak bermanfaat bagi orang banyak, walaupun rating meningkat dan pendapatan naik tetapi cara yang dipakai tidak sesuai dengan tugas media itu sendiri. Beritakanlah berita yang benar-benar berdampak besar bagi banyak orang dengan menampilkan tayangan-tayangan yang bermanfaat juga bagi masyarakat Indonesia. Sangat ironis memang dengan kemajuan era modern, tetapi media tv Indonesia masih berdampak negatif bagi masyarakat Indonesia dengan menampilkan tayangan-tayangan yang tidak berkualitas bagi masyarakat Indonesia. Jadikanlah masyarakat Indonesia ini untuk lebih cerdas dan berkualitas dengan menampilkan tayangan-tayangan yang mendidik serta bermanfaat bagi kemajuan Rakyat, Bangsa dan Negara Indonesia.   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar