Perkembangan sebuah
Media di Indonesia semakin maju dari tahun ke tahun, tidak hanya menyajikan satu
aspek, tetapi telah menjalar kesemua aspek sesuai dengan kejadian-kejadian yang
sedang terjadi pada saat ini. Tak terkecuali perubahan pada isi dari sebuah
acara yang di berikan oleh media itu sendiri. Salah satunya Komodifikasi.
Komodifikasi kasus tayangan
perhelatan pernikahan Raffi Ahmad dengan Nagita Slavina yang di siarkan oleh stasiun
tv. Dengan membawa nama Raffi Ahmad yang sudah terkenal sebagai artis, stasiun
tv ini menghadirkan sebuah produk “spesial” kepada masyarakat. Ternyata, cara
ini ampuh untuk membuat produk tersebut menjadi bahan perbincangan di
masyarakat.
Sosok seorang artis, tak
lantas sebagai Presiden inilah yang saya lihat dari acara tersebut, dimana sebuah
media televisi yang seharusnya memiliki nilai-nilai informasi yang penting
berguna bagi masyarakat Indonesia. Tergantikan hanya dengan acara perhelatan
pernikahan masyarakat biasa dengan menampilkan segala kemewahannya untuk
diliput media televisi. Tanpa ada manfaatnya dalam segala hal.
Walaupun media itu
sendiri yang menawarkan ataupun tidak untuk meliput acara perhelatan
pernikahannya, disinilah pentingnya peran dan sikap kita dalam mengambil
keputusan sebelum bertindak.
Raffi adalah orang berpendidikan seharusnya
lebih tahu, mana hal yang penting dan tidak penting. Tugas media seharusnya
mementingkan lebih banyak untuk mewakili masyarakat bukan hanya mementingkan
kepentingan satu pribadi.
Komodifikasi Media
Televisi
Komodifikasi yang berasal
dari salah satu ideologi Karl Marx yang mengatakan bahwa kata tersebut bisa di
artikan sebagai upaya dalam peraihan keuntungan dengan mengorbankan aspek-aspek
masyarakat.
Sebuah teori dari Baran
dan Davis, yang mengungkapkan bahwa komoditas adalah peralihan nilai-nilai
manusia yang bisa di tukarkan menjadi nilai tukar seperti Rupiah, Dollar, atau
mata uang lainnya.
Perubahan tersebut
dikarenakan desakan akan kebutuhan antar individu, menghilangkan konteks sebuah
produk sosial menjadi produk bisnis. Membuat sebuah komodifikasi sebuah media
menjalar ke semua idiologi pemilik media, menjadikannya sebuah budaya untuk
menciptakan keuntungan.
Asumsi mengapa proses
komodifikasi begitu mengakar pada media karena, media hanya dapat dimiliki oleh
pemilik modal kuat untuk mendirikan sebuah media diperlukan biaya yang sangat
besar. Sehingga jika kebutuhan modal terpenuhi maka pemulihan keuntungan akan
dilakukan sebesar-besarnya, hal tersebut juga dikarenakan adanya persaingan
media.
Tetapi jika dilihat
dari nilai-nilai pada Media Televisi itu sendiri, ini semua sudah sangat
melenceng jauh. Dari aspek ekonomi, media hanya mencari keuntungan yang sangat
besar, tanpa melihat banyak aspek, misalnya dari aspek sosial yang sudah tidak
ada produk yang inspiratif dan mendidik, bahkan dari aspek budaya yang sudah
hilang moral dan privasi.
Pada akhirnya media
komersial harus membuat keuntungan untuk dapat bertahan dan hal ini sering
sekali adanya keterlibatan secara langsung dalam mempengaruhi konten media
tersebut. Tanpa memikirkan apakah konten tersebut bermanfaat baik atau tidak
bagi penonton masyarakat Indonesia.
Kapitalisme Media Era
Modern
Lagi-lagi ini semua
menjurus pada Kapitalisme yang sudah menguasai aspek sosial dunia dengan
produk-produk yang berbasis bisnis. Para Kapitalisme (Pemilik Media) melihat
kesempatan ini dengan cerdik, melihat bahwa penonton bukan hanya sekedar
penonton, melainkan penonton merupakan “pekerja” dari sebuah media itu sendiri.
Maksudnya, media menggiring penonton untuk secara tidak sengaja menonton produk
yang diberikan, dengan topik yang sedang hangat dibicarakan tetapi sudut
pandang yang berbeda. Sudut pandang yang berbeda inilah, yang menjadi salah
satu faktor Media memainkan perannya.
Peran ini yang akhirnya
menentukan rating pada sebuah produk yang dihasilkan, dan seperti media-media
kebanyakan, rating seolah-olah menjadi sebuah roh yang sangat di sanjung-sanjung
tinggi, yaitu keuntungan. Tanpa melihat dari tugas utamanya sebagai Media
sebenarnya.
Memang sangat
memprihatinkan, semula media di ciptakan untuk mendidik masyarakat, sekarang
dijadikan lahan untuk berdagang dan mencetak uang. Sehingga, harapan masyarakat
akan produk-produk yang inspiratif, edukatif, dan budaya semakin hari semakin
berkurang.
Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI)
Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) pada mukadimahnya menyebutkan,
pemanfaatan frekuensi radio sebagai ranah publik yang merupakan sumber daya
alam terbatas dapat senantiasa ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat
sebesar-besarnya.
Dalam Pasal 11 juga
menyatakan bahwa lembaga penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan
perlindungan untuk kepentingan publik. Apalagi, dalam SPS Pasal 13 ayat 2
menyatakan bahwa program siaran tentang permasalahan kehidupan pribadi tidak
boleh menjadi materi yang ditampilkan atau disajikan dalam seluruh isi mata
acara, kecuali demi kepentingan publik.
Terlihat jelas bahwa
peran media sangat penting untuk mewakili masyarakat banyak bukan mewakili segelintir
pribadi orang, para kapitalisme media juga harus paham tentang program acara
yang akan ditampilkan tidak boleh ikut campur dalam permasalahan kehidupan
pribadi seseorang.
Kesimpulan
Pada era modern saat
ini memang tidak dipungkiri jika kemajuan zaman juga berdampak pada kemajuan
suatu teknologi media, hal inilah menurut saya tantangan kita dimana dengan
segala kemajuan di era modern saat ini, bukannya kualitas teknologi media saja
yang maju tetapi sumber daya manusia juga harus diimbangi. Jika salah satu itu
tidak saling mendukung maka akan terjadilah kasus ataupun peristiwa seperti
ini, teknologi media makin modern, ilmu pengetahuan semakin tinggi tetapi
pelaksanaannya sangat buruk. Kasus perhelatan pernikahan Raffi Ahmad dengan
Nagita Slavina yang ditayangkan tv ini adalah contoh sebuah pelanggaran tugas
media tv serta kesalahan Raffi Ahmad yang seharusnya media tv hanya memberikan
informasi yang penting dan bermanfaat bagi banyak orang tetapi malah meliput
perhelatan pernikahan yang sebenarnya tidak bermanfaat dan tidak penting bagi banyak orang, sebab
Raffi Ahmad hanya artis seperti masyarakat bukan seorang Presiden Republik
Indonesia yang memiliki peran penting dalam kemajuan Negara Indonesia. Hal itu
juga tidak boleh dilakukan karena sudah dijelaskan KPI bahwa perhelatan pernikahan
yang ditayangkan di tv telah menyangkut kepentingan pribadi Raffi sendiri,
media tidak boleh ikut campur, walaupun seorang artis sekalipun. Seharusnya
Raffi Ahmad juga lebih paham tentang peraturan tersebut. Ini semua mungkin bisa
menjadi pembelajaran bagi kalangan artis ataupun masyarakat lainnya bahwa media
tv adalah sarana media informasi yang bermanfaat bagi banyak orang, memberikan
fakta-fakta yang aktual dan akurat bagi masyarakat Indonesia. Bagi para
kapitalisme media itu sendiri untuk lebih paham dan mengerti juga bahwa
program-program siaran yang akan mereka tampilkan juga harus bermanfaat bagi
banyak orang bukan adanya keberpihakan segelintir artis yang tidak bermanfaat
bagi orang banyak, walaupun rating meningkat dan pendapatan naik tetapi cara
yang dipakai tidak sesuai dengan tugas media itu sendiri. Beritakanlah berita
yang benar-benar berdampak besar bagi banyak orang dengan menampilkan
tayangan-tayangan yang bermanfaat juga bagi masyarakat Indonesia. Sangat ironis
memang dengan kemajuan era modern, tetapi media tv Indonesia masih berdampak
negatif bagi masyarakat Indonesia dengan menampilkan tayangan-tayangan yang
tidak berkualitas bagi masyarakat Indonesia. Jadikanlah masyarakat Indonesia
ini untuk lebih cerdas dan berkualitas dengan menampilkan tayangan-tayangan
yang mendidik serta bermanfaat bagi kemajuan Rakyat, Bangsa dan Negara
Indonesia.